Banjir Sumatera dan Krisis Keadilan Intergenerasi
Oleh: Suci Ramadhan

Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda kawasan Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh masih terus berlangsung hingga hari ini.
Berdasarkan rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 16 Desember 2025, tercatat sedikitnya 1.030 korban jiwa, 205 orang dinyatakan hilang, 7.000 orang luka-luka, serta kerusakan infrastruktur dalam skala besar.
Namun, bencana ini tidak dapat dipahami semata sebagai akibat siklus alam atau cuaca ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar.
Lebih dari itu, banjir bandang dan longsor di tiga provinsi tersebut merupakan manifestasi nyata krisis etika ekologis akibat kegagalan tata kelola lingkungan hidup.
Krisis Ekologi dan Keadilan Antar Generasi
Besarnya dampak bencana memunculkan pertanyaan mendasar:
apakah generasi mendatang masih memiliki hak atas lingkungan yang layak di Indonesia?
Pertanyaan ini tampaknya hanya akan menghasilkan jawaban pesimistis di tengah krisis ekologi yang kian akut, terutama akibat gagalnya negara menjamin keadilan antargenerasi.
Edith Brown Weiss, dalam In Fairness to Future Generations: International Law, Common Patrimony, and Intergenerational Equity (1989), menegaskan bahwa keadilan intergenerasi merupakan konsep etika dan hukum yang mewajibkan generasi saat ini mengelola sumber daya alam secara seimbang—antara pemanfaatan hari ini dan pelestarian bagi masa depan.
Prinsip ini seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan pembangunan berkelanjutan, agar generasi sekarang tidak mewariskan ekosistem yang rusak, rapuh, dan rawan bencana kepada anak dan cucu mereka.
Menjual Masa Depan Demi Keuntungan Jangka Pendek
Pulau Sumatera dikenal sebagai wilayah dengan bentang alam hutan tropis yang membentang dari Aceh hingga Lampung.
Ironisnya, kawasan ini justru menjadi korban eksploitasi alam terbesar di Indonesia.
Data tahun 2024 menunjukkan bahwa deforestasi di Sumatera mencapai 78.030,6 hektare, atau setara 10 kali luas Kota Jakarta.
Laporan Bappenas (2025) menyebutkan bahwa selama periode 1990–2021, lebih dari 50% tutupan hutan primer dan sekunder di Sumatera telah hilang, terutama akibat alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, dan perkebunan.
Indonesia Environment and Energy Center mencatat bahwa deforestasi merupakan bentuk kerusakan lingkungan paling dominan di wilayah dengan aktivitas industri dan perkebunan intensif.
Sementara itu, Global Forest Watch melaporkan bahwa Indonesia telah kehilangan 32 juta hektare tutupan pohon sejak 2001 hingga 2024, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia.
Fakta ini menunjukkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan kerap dimaknai secara sempit, hanya sebagai alat pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bahkan dibalut praktik greenwashing—sekadar jargon hijau demi legitimasi dan perizinan, tanpa komitmen ekologis nyata
Eksploitasi alam yang masif inilah yang secara langsung meruntuhkan daya dukung lingkungan dan memicu bencana banjir serta longsor di Sumatera.
Anak-Anak sebagai Korban Utama Krisis Ekologis
Dalam setiap bencana ekologis, anak-anak selalu menjadi kelompok paling rentan. Laporan Born into the Climate Crisis 2 (Save the Children, 2025) menyebutkan bahwa anak-anak yang lahir sejak 2020 akan menghadapi krisis iklim jauh lebih berat dibandingkan generasi sebelumnya.
Hal ini jelas melanggar Komentar Umum No. 26 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa anak memiliki hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai prasyarat bagi pemenuhan hak-hak lainnya.
Banjir dan longsor di Sumatera telah membawa dampak langsung bagi anak-anak, antara lain:
Terhentinya akses pendidikan akibat rusaknya sekolah dan infrastruktur,
Meningkatnya risiko penyakit dan gangguan kesehatan,
Kelangkaan air bersih dan pangan yang berpotensi menyebabkan malnutrisi,
Trauma psikososial akibat kehilangan rumah, wilayah, dan anggota keluarga,
Kemiskinan struktural karena hilangnya mata pencaharian orang tua,
Bahkan, tidak sedikit anak yang menjadi korban jiwa.
Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak hari ini menjadi korban nyata dari ketidakadilan antargenerasi, akibat kegagalan negara melindungi hak ekologis mereka.
Padahal, Pasal 3 Konvensi Hak Anak 1989—yang telah diratifikasi Indonesia—menegaskan bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan negara, termasuk kebijakan lingkungan dan pembangunan.
Tiga Pilar Keadilan Intergenerasi
Konsep keadilan intergenerasi menekankan tiga pilar utama yang wajib menjadi dasar setiap kebijakan pembangunan berkelanjutan:
Pertama, perlindungan opsi.
Generasi mendatang harus tetap memiliki pilihan dan akses terhadap sumber daya alam sebagaimana generasi saat ini. Deforestasi masif di Sumatera telah menghilangkan opsi tersebut dan menciptakan ketidakadilan struktural bagi generasi berikutnya.
Kedua, perlindungan kualitas.Lingkungan yang diwariskan tidak boleh lebih buruk dari kondisi saat ini. Banjir dan longsor yang terjadi menjadi indikator awal buruknya kualitas ekosistem hutan Sumatera. Tanpa perlindungan serius, kita hanya akan mewariskan alam yang rusak dan rawan bencana.
Ketiga, perlindungan akses. Generasi masa depan harus memiliki akses yang adil dan aman terhadap warisan alam. Jika kondisi ekologis saat ini terus dibiarkan, maka yang diwariskan bukan kesejahteraan, melainkan ancaman bencana yang berulang.
Penutup
Berdasarkan tiga pilar tersebut, negara harus segera mengaudit dan menghentikan proyek pembangunan serta perizinan perusahaan di wilayah Sumatera yang terbukti melanggar prinsip ekologis, hak anak, dan keadilan intergenerasi.
Tanpa langkah tegas dan berorientasi jangka panjang, banjir dan longsor hari ini hanyalah awal dari warisan bencana yang akan terus merampas hak generasi berikutnya atas lingkungan yang sehat, aman, dan berkelanjutan.
Jika negara gagal bertindak sekarang, maka generasi masa depanlah yang akan membayar harga paling mahal.









