Medan-Kompasnusa.net// Senin (15/12/2025) — Penantian panjang selama hampir empat dekade akhirnya memuncak. Puluhan warga Desa Poncowarno, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menggelar aksi unjuk rasa di depan Pintu III Universitas Sumatera Utara (USU), menuntut kejelasan dan tanggung jawab atas janji ganti rugi lahan yang hingga kini tak kunjung dipenuhi.
Aksi ini ditujukan langsung kepada Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, yang dinilai terus mengabaikan penyelesaian konflik agraria warisan sejak 1986. Konflik tersebut bermula ketika USU mengambil alih lahan pertanian warga dengan dalih kepentingan pendidikan dan penelitian mahasiswa, disertai janji kompensasi yang hingga kini hanya tinggal ucapan.

Koordinator aksi, Aspipin Sinulingga, menyatakan bahwa sekitar 300 hektare lahan milik 56 kepala keluarga diambil alih tanpa proses ganti rugi yang sah. Lahan yang semula menjadi sumber kehidupan utama warga justru beralih fungsi dan dikelola sepenuhnya oleh pihak kampus.
“Tanah kami diambil, janji diberikan, tapi hak kami dihilangkan. Selama 39 tahun kami hanya diberi harapan kosong. USU terus menikmati hasil lahan, sementara kami kehilangan pekerjaan dan masa depan,” tegas Aspipin di hadapan massa aksi.

Ia mengungkapkan, sebelum dikuasai USU, lahan tersebut ditanami berbagai komoditas pangan dan perkebunan rakyat seperti padi, palawija, sayuran, karet, hingga cengkih. Pengambilalihan lahan secara sepihak itu disebut telah mengubah puluhan keluarga petani menjadi kelompok rentan tanpa penghidupan tetap.
Lebih jauh, warga juga mempertanyakan keabsahan pengelolaan lahan tersebut. Aspipin menuding ganti rugi yang dijanjikan kepada warga justru dialihkan kepada pihak lain yang tidak memiliki hubungan kepemilikan dengan lahan.
“Kami pemilik sah tidak pernah menerima apa pun. Ironisnya, informasi yang kami terima, kompensasi justru mengalir kepada oknum pegawai USU di kawasan Pamah Tambunan. Ini jelas mencederai rasa keadilan,” katanya.
Kekecewaan warga kian bertambah setelah berbagai upaya dialog, pengajuan keberatan, hingga aksi penyegelan lahan tak pernah mendapat respons serius. Alih-alih menyelesaikan konflik, warga menyebut kawasan tersebut kini dijaga aparat bersenjata.
“Tanah yang kami buka dan garap puluhan tahun sekarang dijaga aparat. Warga yang masuk langsung diusir. Kami diperlakukan seperti penyerobot di tanah sendiri,” ujar Aspipin.
Dalam aksi tersebut, warga menyampaikan ultimatum terbuka kepada pimpinan USU. Mereka menuntut pembayaran ganti rugi sesuai janji awal atau pengembalian lahan kepada pemilik sah tanpa syarat.
“Kami sudah lelah dibohongi, difitnah, dipukul, bahkan dipenjara. Jika hari ini tidak ada niat baik, kami akan mempertahankan ladang kami dengan cara kami sendiri. Kami tidak takut mati, apalagi dipenjara,” teriak Aspipin disambut massa aksi.
Aksi berlangsung dengan pengawalan aparat kepolisian. Warga menegaskan, perjuangan akan terus berlanjut melalui jalur hukum, tekanan publik, dan aksi lanjutan hingga Universitas Sumatera Utara menyelesaikan kewajibannya secara adil dan bermartabat. (redaksi)









